Saya, Musyafik, tiba di rumah Mbah Maridjan sekitar pukul 16.30 WIB, bersama Bramasto naik sepeda motor. Akses jalan masih bisa ditembus. Kami berangkat dari Yogya lewat Jalan Kaliurang, kemudian berbelok ke arah Kaliadem.
Waktu itu belum ada tanda-tanda kemeriahan atau peningkatan kesibukan tim SAR, petugas TNI/Polri yang siaga bencana. Sangat normal. Kemudian dari pertigaan Jalan kaliurang ke Kaliadem, saya juga tidak melihat ada penjagaan atau portal-portal.
Baru ketika sampai di pertigaan Kinahrejo, tak jauh dari rumah Mbah Maridjan, terlihat ada portal tapi tak ada yang berjaga. Ketika saya masuk halaman rumah Mbah Maridjan, ada tiga rekan jurnalis, dua aktivis Mapala, dan seorang perempuan yang menjaga warung di sebelah rumah Mbah Maridjan.
Tidak ada mobil yang terparkir di halaman rumah Mbah Maridjan. Kami kemudian duduk-duduk mengobrol dengan teman-teman di teras rumah, termasuk juga Mbah Maridjan. Selama obrolan yang ternyata kesempatan terakhir, Mbah Maridjan banyak mengumbar tawa.
Dia mengenakan kaus putih, kopiah putih, bersarung kotak-kotak warna biru. Sungguh pembicaraan itu masih terekam baik di benak saya. Obrolan tidak pernah serius, malah Mbah Maridjan memilih menjadikan perempuan sebagai bahan obrolan.
Kami, ada Widya, wartawan Kompas, dua pendaki gunung yang sudah sangat akrab dengan Mbah Maridjan, seorang perempuan pemilik warung sebelah yang nimbrung, bolak-balik dibuat terpingkal-pingkal.
Salah seorang aktivis pencinta alam, namanya Itong, tahun 2006 waktu Merapi meletus, juga bersama-sama Mbah Maridjan di rumahnya yang lolos dari terjangan wedus gembel. itong mengaku ingin reunian. Sampai Rabu siang saya belum tahu bagaimana nasib Itong dan temannya.
Namun berdasarkan informasi seorang anggota tim Dokkes Polda DIY yang mengevakuasi wartawan Vivanews tadi malam, ada melihat dua sepeda motor terparkir di halaman rumah Mbah Maridjan. Kedua sepeda motor itu yang saya lihat tadinya diparkir oleh Itong dan temannya.
Nah, sekitar pukul 17.30, ketika terdengar suara gemuruh panjang dari arah lereng selatan Merapi, Mbah Maridjan undur diri, meninggalkan kami. Sebelum itu, dua rekan wartawan yang tadi bersama kami, meninggalkan rumah
Rasa panik itu ternyata memiliki hikmah. Saya, Musyafik, sekarang benar-benar bersyukur. Jika tidak, saya tidak tahu apa yang akan menimpa jika saya bertahan beberapa menit saja di rumah Mbah Maridjan di Kinahrejo.
Lima menit yang tersisa itu sungguh menyesakkan ketika saya akhirnya melihat betapa hancurnya rumah dan tanah yang semula saya injak. Keramahan dan keceriaan Mbah Maridjan ketika saya ngobrol sambil bersenda gurau masih terngiang-ngiang di benak saya.
Kepanikan Bramasto Adhy, teman fotografer yang bersama-sama saya di rumah Mbah Maridjan lima menit sebelum awan panas Kinahrejo menggulung, sungguh menyelamatkan kami. Bramasto waktu itu panik luar biasa saat mendengar sirene bahaya meraung-raung.
Dia sudah mencengkeram kuat setang sepeda motor, menyalakan mesin, dan bersiap meluncur turun ke Umbulharjo, lokasi yang lebih aman. Saya mencoba mengajak dia bertahan karena ingin melihat perkembangan yang terjadi di belakang saya.
Saya juga lihat warga setempat lebih tenang meski mulai berkumpul di tepi jalan untuk bersiap mengungsi. Itu yang membuat saya makin yakin tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi, itulah takdir, itulah hidup. Saya akhirnya meluluskan ajakan Bramasto turun.
Hujan abu waktu itu turun sangat deras, jarak pandang terbatas meski aliran listrik masih menyala. Kami akhirnya meluncur turun bersama-sama ratusan warga yang menunggang sepeda motor dan kendaraan pribadi.
Saya kemudian tak berpikir lagi untuk bertahan karena terpikir kemudian soal keselamatan. Namun, saya berusaha mengingatkan Bramasto untuk terus mengabadikan detik-detik evakuasi, korban-korban terbakar awan panas yang dibawa turun oleh warga dan tim penolong.
Yang kemudian saya heran, suasana di sepanjang jalan yang sudah diguyur hujan abu, reaksi orang-orang tampak tenang meski lalu lintas riuh rendah. Beberapa warung masih buka dan warga yang akan mengungsi berjejer di tepi jalan, tidak menunjukkan kepanikan.[kompas.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar